Rieman, E.A.

Het kantoorgebouw van de Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij te Semarang, vroeger genaamd het NIS-gebouw en tegenwoordig geheten Lawang Sewu.

Één der mooiste gebouwen uit de Nederlands-Indische tijden.

Ik draag deze pagina op aan mevr. Elisabeth Adriana Rieman.

Waarom? Omdat zij gehuwd was met de heer Dirk Willem Hinse J. Hzn en vooral om een andere trieste reden, te zien onderaan de pagina. Moge zij de eeuwige vrede hebben.

En wat is dan er zo speciaal aan, om een gecombineerde pagina te wijden aan het NIS-gebouw te Semarang, mevr. Elisabeth Adriana Rieman en haar echtgenoot Dirk Willem Hinse?

Gegevens ontleend aan: Het Administratiegebouw der Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij te Semarang, Nederlandsch-Indië Oud en Nieuw, Volume 1 Number 1, May 1916.

Zie ook de pagina Lawang Sewu. De heer C. Citroen – architect heeft het gebouw ontworpen in opdracht van zijn opdrachtgever Prof. Klinkhamer.

Terwijl te Semarang men aanving met plannen maken en het realiseren van de bouw van het NIS gebouw, vertrok het gezin van Dirk Willem Hinze J. Hzn per ss. van Imhoff in 1902 naar Indië en arriveerde dec 1902. (Vlgs passagierslijsten). Het gezin bestond uit Hinse, zijn echtgenote en zoontje Jan Hendrik geboren 5 dec 1889 te Amsterdam. Hinse was namelijk aangesteld als binnenhuis architect en bouwkundig (toezichthouder), met een modern woord Site Manager.

Elisabeths ouders waren Johan Maurits Rieman, gestorven 3 aug 1869 te Amsterdam oud 56 jaar en Petronella Helleman. (De dagbladen vermelden foutieve initialen.)

Vader Johan Murits Rieman was weduwnaar van Cornelia Helman (Helleman) en huwde op 2 maart 1853 te Amsterdam met Petronella Helleman (oud 27 jaar) met roepnaam Pietje.

In 1879 op de leeftijd van 20 jaar behaalde Elisabeth haar akte L.O. Nuttige Handwerken te Amsterdam.

Ik heb niet kunnen ontdekken of het gezin woonachtig was en bleef  in Bandung of dat Hinse later in Semarang verbleef in verband met zijn werkzaamheden aan het NIS gebouw. In de almanakken wordt hem als verblijfplaats Semarang toebedeeld. Waarom Elisabeth in Bandoeng overleed is mij onbekend.

Elisabeth heeft dan slechts enkele weken van het verblijf te Indië mogen meemaken, want op 13 januari 1903 overleed Elisabeth te Bandung, nalatende haar man en kinderen. Hier bemerk ik iets vreemds: Volgens de passagierslijsten waren aan boord ingescheept te Marseille op de van Imhoff richting Indië: de heer Hinse, echtgenote en zoontje en zij arriveerden eind 1902 te Indië. Volgens de overlijdens advertentie wordt gewag gemaakt: “Tot diepe smart van mij en mijne kinderen.” 

Het zoontje zal hoogstwaarschijnlijk geweest zijn: Jan hendrik Hinse geboren circa jan 1890 en hij werd later civ. ing.

Maar in 1894 werd ook geboren Marita Catharina Petronella Wilhelmina Hinse (+ 10 maart 1941 te Hilversum.)

De volgende overlijdens advertenties verschenen in Indië alsmede in Nederland. In de advertentie staat een fout gedrukt. Haar moeder heette namelijk PETRONELLA HELLEMAN ook wel genoemd PIETJE. De drukker was, denk ik abuis geweest en had de initialen van haar overleden man Johan Maurits gebruikt. Evenzo een drukfout bij haar achternaam Helman ipv Helleman.

Hoe het ook geweest moge zijn en wat de oorzaak was dat het de grafsteen van Elisabeth er nu op deze manier bij ligt is een raadsel. Het oorspronkelijke graf lag namelijk op het oude kerkhof Kebon Jahe Pejajaran Bandung en dit terrein is geruimd om plaats te maken voor een regeringsgebouw. De daar liggende graven werden overgebracht naar het huidige kerkhof aan de Jalan PANDU te Bandung. Het is mogelijk geweest, dat tijdens de ruiming men het één en ander wel voor lief aannam……

Anno 2014 wordt haar grafsteen gebruikt als wasplaats in een desa CIGURIANG nabij Bandung. Haar stoffelijk overschot en ziel heeft een beter lot verdiend en derhalve nogmaals mijn bede, dat zij in eeuwige vrede mag rusten, waar dan ook.

Op 23 nov 1905 hertrouwde de heer Hinse te Semarang met mevr. Johanna Cornelia Hildering. (Krantenbericht KB.nl)

Tevens geraadpleegd DEZE en DEZE site, waar ook de foto’s van de grafsteen afkomstig van zijn.

(Deze site geeft de engelse vertaling weer van het NIS tijdschrift zoals bovenaan genoemd.)

UPDATE SEPT 2015:

De grafplaat is nu in beheer bij het kerkhof Pandu. Zie foto hieronder. Echter is het nu gebroken en toont het nog slechts de onderkant met geboorte en over.datum. Nou ja, beter iets dan niets toch. Moge zij nu eindelijk in eeuwige vrede rusten.

Onderstaand uit een Bandungse krant in verband met de vraagtekens inzake het graf van Elisabeth Adriana Rieman gehuwd met de heer Hinse.

Mevr. Hinse overleed te Bandung, begraven te Bandung en ook aangegeven te Semarang, alwaar de heer Hinse werkzaam was.

Een trieste zaak: Ergens ligt de grafsteen van mevr. Eleisabeth Adriana Hinse Rieman weg te rotten in de vegetelheid; het resultaat van een koloniaal verleden van Nederland zoals vaker gebeurd is met andere graven.

9 sept 2015

KabarRakyat, Bandung – Nisan Elisabeth Adriana Hinse-Rieman di Bandung tercecer. Ada bagian yang terbelah. Di sisi lain, makam wanita Belanda itu tak diketahui tempatnya. Komunitas sejarah kecewa.

Nisan Elisabeth awalnya berada di Jalan H. Mesri, RT 10 RW 6, Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung. Namun sejak 4 bulan lalu, nisan tersebut dibawa ke kelurahan Pasirkaliki. Ketua Bandung Heritage Harastoeti mengatakan, seharusnya keberadaan nisan itu dilaporkan dan diteliti lebih lanjut oleh arkeolog.

“Dari situ kemudian diputuskan akan disimpan di mana. Apakah di museum sebagai bagian dari benda cagar budaya,” jelas Harastoeti saat dihubungi via ponselnya seperti dilansir Detik.com, Selasa (8/9/2015).

Oleh arkeolog, batu tersebut akan diteliti usianya dan ditelusuri sejarahnya. “Dari nisan saja kita bisa menggali sejarah. Apalagi ini berhubungan dengan orang penting, salah satu arsitek Lawang Sewu,” kata Harastoeti.

Penemu nisan Eisabeth, Ridwan Hutagalung, jua mengaku kecewa mengetahui kondisi nisan yang terbelah saat dipindahkan dari lokasi penemuan di permukiman di Ci Guriang ke kantor Kelurahan Pasirkaliki. Padahal batu yang ditemukan Ridwan bersama teman-temannya di Komunitas Aleut sekitar setahun lalu tersebut menurutnya menyimpan banyak cerita menarik. Baik sejarah pemindahan makam di Kota Bandung maupun sejarah perkerataapian di Indonesia, terkait Gedung Lawang Sewu Semarang.

“Saya kecewa dan menyayangkan itu bisa sampai terbelah begitu. Padahal selama ini bertahun-tahun ada di tengah warga masih bisa utuh. Kok dipindah, baru satu jam jadi begitu,” ujar Ridwan yang juga pengasuh Komunitas Aleut ini.

Menurutnya, nisan tersebut harusnya diperlakukan hati-hati. “Harusnya dipertimbangkan, kalau diberdirikan, ada penyangganya atau apa. Kalau yang saya baca kan itu disenderkan. Melihat nisan itu patah, saya merasa kok ya riwayat nisan yang menarik ini jadi tamat,” katanya.

Ridwan menyarankan, nisan tersebut bisa kembali direkatkan dan disimpan di tempat yang lebih laik seperti di museum. Sambil menunggu informasi yang akan terungkap seiring berjalannya waktu.

“Kita ini sebenarnya punya banyak sekali cerita-cerita. Namun belum terungkap. Pelan-pelan saja, yang penting arsipnya terpelihara,” kata Ridwan yang bersyukur telah mendokumentasikan berupa foto dan salinan teks nisan tersebut.[kr-1]

Detik News 7 sept 2015

Bandung – Nisan Elisabeth Adriana Hinse-Rieman pertama kali disadari oleh Komunitas Aleut yang tengah ngaleut (hang out) sekitar setahun lalu di sekitaran daerah Ci Guriang. Saat itu, mereka menemukan 3 batu di dekat mata air Ci Guriang yang biasa digunakan oleh warga untuk mencuci atau mandi.

“Saat itu tidak sengaja, saat kita mau ikut kencing. Di dekat mata air itu ada 3 batu yang berukuran kurang lebih sama. Awalnya dikira batu biasa saja, tapi saat diperhatikan dan dibersihkan, ada tulisan yang dipahat yang menunjukkan bahwa itu adalah nisan,” ujar Pengasuh Komunitas Aleut, Ridwan Hutagalung, saat dihubungi detikcom via ponselnya, Senin (7/9/2015).

Dari 3 batu tersebut, dua lainnya tidak ditemukan tulisan seperti pada nisan Elisabeth. Entah karena batu tersebut terbalik, yang jelas ada sebagian dari bagian batu yang tertanam ke tanah sehingga sulit untuk membaliknya.

“Saat itu kami coba bertanya pada warga, tapi kami tak mendapatkan jawaban,” katanya. Ridwan pun saat itu hanya mendokumentasikan nisan tersebut melalui foto dan catatannya.

Dua minggu setelah penemuan tersebut, Ridwan kembali datang ke lokasi tersebut. Ia ingin memeriksa kembali nisan tersebut dan menyalin tulisan dengan lebih rinci. Berikut tulisannya:

ELISABETH ADRIANA HINSE-RIEMAN
GEB. AMSTERDAM
9 MAART 1859
OVERL. BANDOENG
13 JANUARI 1903

Sepulangnya, ia menulis di sosial media dan blog serta menyebarkannya pada teman-temannya di sosial media. Ketika itu ada temannya yang juga sama-sama peminat sejarah merespons dan memberikan cuplikan artikel koran Het Nieuws van de Dag – De Kleine Courant, tanggal 19 Januari 1903. Dalam artikel yang berisi berita duka cita tersebut tercantum nama Elizabeth Adriana Rieman.

“Yang menarik adalah nama suami Elizabeth tersebut yaitu D. W. Hinse J.Hz yang setelah ditelusuri adalah salah seorang arsitek yang bertugas untuk survei lokasi dan masuk tim perencana bangunan yang kemudian kini dikenal dengan Gedung Lawang Sewu di Semarang,” tuturnya.

Ridwan pun masih terus mencari informasi terkait D. W. Hinse J.Hz dan Elizabeth tersebut. “Bagaimana Elizabeth bisa dimakamkan di Bandung. Apakah mereka saat di Semarang sempat mengunjungi Bandung, lalu Elizabeth meninggal dan dimakamkan di Bandung atau bagaimana. Itu masih belum terjawab,” jelasnya.

Dari peninggalan nisan tersebut Ridwan meyakini ada banyak cerita menarik yang bisa digali. Seperti bagaimana nisan tersebut bisa tercecer dan tertinggal di permukiman warga. Diduga nisan tersebut berasal dari pindahan kerkhof (pemakaman) di Jalan Pajajaran ke kompleks pemakaman di Jalan Pandu saat ini.
(tya/try)

 Einde update.

Terug naar boven